Di kota-kota Indonesia, kafe kini menjadi hal yang ada di mana-mana. Mulai dari jalan raya hingga di antara rumah-rumah, dengan berjalan ke seluruh mata angin, kita dapat tak sengaja menemukan kafe. Mungkin, populernya kafe bisa dipahami melalui kopi yang tidak lagi hanya sekadar minuman, tetapi juga hobi yang sedang naik daun pada satu dekade belakangan. Atau mungkin juga hasil kurangnya ruang publik di kota kita yang makin privat.
Namun, ada satu faset yang masih jarang terjamah dari maraknya kafe di ruang urban kita. Dalam kota, kafe berfungsi sebagai pengejawantahan spasial kelas menengah. Hal ini bukan berarti bahwa hanya kelas menengah saja yang mengisi kafe-kafe tersebut secara demografis. Tetapi, ia muncul sebagai ruang tak terelakkan dari realitas kelas menengah Indonesia. Dalam tatanan sosial, bahkan ia juga merawat dan mereproduksi posisi kelas menengah ke atas, menggariskan batas sosial dalam arsitektur dan kota kita.
Kelas Menengah dan Pendidikan
Pada 2024, kelas menengah Indonesia dikategorikan berdasarkan pada pengeluarannya, yaitu sebesar Rp2.040.262–Rp9.909.844 per bulannya. Tentu saja, angka tersebut identik dengan pekerjaan yang stabil–umumnya kerah putih dan orang-orang berpendidikan tinggi. BPJS menyatakan bahwa pada tahun tersebut, seperempat dari 47,58 juta warga kelas menengah memiliki pendidikan hingga jenjang sarjana. Angka ini kurang lebih sesuai dengan total warga berpendidikan sarjana, yang diperkirakan berjumlah sekitar 12 juta orang [1]. Dari data tersebut maka dapat disimpulkan bahwa hampir keseluruhan pemegang gelar sarjana berada dalam kelas ekonomi-sosial menengah. Memang, pendidikan, pendapatan, pekerjaan–diantara kategori yang lazim digunakan dalam menentukan kelas sosial, sangat berkelindan.
Sekalipun begitu, definisi kelas menengah merupakan hal yang sering dikontestasikan. Bagi Weberian, banyak orang yang menolak definisinya. Kelas pendapatan menengah dan kelas pendapatan bawah sebagain besar bekerja sebagai buruh, perbedaannya hanya sebatas ‘harga’ tenaganya. Sementara ‘kelas menengah’ lainnya dapat berupa pemegang kapital kecil. Sekalipun begitu, ada dimensi sosial dan kultural dari spektrum kelas menengah yang bisa ditilik dari ruang yang mereka gunakan. Untuk itu, mari kita mulai dengan melihat sejarah kolonial dan pasca kemerdekaan Indonesia.
Pada zaman kolonial, kebutuhan akan tenaga kerja lokal yang terampil melahirkan politik etis. Melaluinya, subyek kolonialisme yang menerima pendidikan akhirnya mengembangkan pemikiran yang kritis terhadap pemerintah kolonial. Merekalah yang menjadi awalan kelas menengah yang ikut berperan dalam pergerakan nasional di abad ke-20. Golongan yang terdidik ini memiliki ragam latar belakang politik. Sebagian mendukung ekonomi liberal, sementara lainnya memperjuangkan redistribusi kekayaan. Dikotomi ini berlangsung hingga kebangkitan Orde Baru [2].
Pada Orde Baru, developmentalisme turut serta memahat kelas menengah pada batu tatanan sosial Indonesia. Tak jauh berbeda dengan pendidikan tinggi yang telah lama dianggap sebagai pintu mobilitas sosial warga. Sebuah pintu bagi siapapun untuk “naik kelas”. Karenanya, muncul pendapat bahwa kelas menengah muncul sebab adanya tawaran developmentalisme pada era Orde Baru. Hal ini disampaikan Abidin Kusno dalam bukunya, Di Balik Pascakolonial. Abidin Kusno menyatakan bahwa kelas menengah Indonesia adalah kelas ekonomi-sosial yang muncul di bawah kekuasaan Soeharto. Melalui pembangunan yang dibawa oleh Orde Baru, mereka menjadi elemen sosial-politik yang mendambakan peningkatan kualitas hidup. Mereka ditakut-takuti dengan kampung kota yang sengaja dibiarkan dalam keadaan buruk. Atau disilaukan oleh perumahan elit, jalan layang, juga lampu sorot dari masa depan yang lebih baik [3]. Hal tersebut mendesak mereka agar turut serta dalam perkembangan, terlebih dengan legitimasi kekuasaan yang meragukan.
Dapat kita amati sangkut paut pendidikan dengan kelas sosial-ekonomi seseorang. Wajar saja, cendekiawan sendiri terkadang dikategorikan sebagai bagian kelas menengah yaitu ‘kelas menengah kebudayaan’ (cultural middle class) [4]. Selain itu, reproduksi sosial yang terjadi melalui pendidikan juga mendukungnya. Teori konflik memahami pendidikan sebagai alat untuk menjaga perbedaan-perbedaan sosial. Merawat kesenjangan sosial dengan cara mempertahankan relasi kuasa dalam masyarakat [5] Ahli teori konflik Michael Bowles dan Herbert Gintis mengemukakan bahwa pendidikan dalam sistem kapitalis mereproduksi ketidaksetaraan sosial dan ekonomi, mempertahankan struktur kelas yang ada, alih-alih memberi akses dan kesempatan yang sama [6]. Lalu, bagaimana posisi kaum terpelajar–yang sangat lekat dengan kelas menengah, pada sistem yang ada sekarang? Dalam tulisan ini, penulis meninjau ruang dan batas-batas yang mewadahi kelas menengah di Indonesia, dilihat dari salah satu bagiannya yaitu kelompok terdidik.
Kafe dan Ruang Mahasiswa yang Dibatasi
Jika Anda mengunjungi kafe, besar kemungkinan Anda akan menemukan anak kuliahan. Penulis sendiri rasanya sudah khatam menyambangi kafe di sekitar kampus sekadar untuk mengerjakan tugas. Mahasiswa melakukan ragam kegiatan mulai dari mengerjakan tugas, menggarap skripsi, hingga mengadakan rapat di kafe [7]. Sudah banyak tugas akhir hingga penelitian yang menjabarkan fenomena ini. Dalam tiga penelitian berbeda di Lampung, Semarang, dan Malang, ditemukan 47% hingga 60% pengunjung kafe merupakan mahasiswa [8][9][10]. Realitas akan pentingnya kafe sebagai wadah sosial mahasiswa, kini tidak sedikit pun mengejutkan. Beberapa tahun belakangan memang terjadi neoliberalisasi kampus besar-besaran di Indonesia. Mulai dari status PTN-BH yang–mau tak mau dan nampaknya cenderung mau–menjadikan kampus semacam usaha untuk terus mencari keuntungan, hingga Merdeka Belajar (atau sepertinya lebih tepat disebut Merdeka Magang). Keresahan akan arah yang sedang dituju oleh kampus-kampus ini pun sudah ramai dibahas dalam diskusi publik. Akses akan pendidikan yang makin tak terjangkau, beralihnya fokus institusi pendidikan tinggi, hingga perannya dalam produksi sosial (untuk semata-mata menghasilkan tenaga kerja) menjadi kecemasan yang marak [11].
Tentu saja hal ini juga berpengaruh pada ruang-ruang yang ada di dalam kampus. Kampus yang kini harus berfungsi demi keuntungan, tentunya tidak akan menemukan manfaat dari menyediakan keamanan hingga dini hari, misalnya. Perguruan tinggi kini Contoh lainnya ketika lampu-lampu mulai dimatikan ketika dinilai sudah terlalu malam, bersamaan dengan satpam yang dikurangi jam jaganya. Perguruan tinggi kini memiliki otonomi sendiri untuk aset dan sumber dayanya, sehingga memiliki wewenang dan kewajiban untuk mencari anggaran mandiri [12]. Saya sendiri sudah berkali-kali diusir dari UGM setelah jam menunjukkan pukul lima sore. Ruang-ruang yang dulunya bisa digunakan mahasiswa untuk beraktivitas pun kini raib. Neoliberalisasi kampus mewujud pada hilangnya ruang-ruang mahasiswa. Mau tak mau mahasiswa harus menggunakan ruang lainnya, yang dapat mereka akses berdasarkan posisi sosial mereka. Akhirnya, mereka berbondong-bondong pergi ke kafe sebab tugas-tugas masih harus dikerjakan dan rapat organisasi masih harus berjalan. Ada pengalaman dan angka IPK yang harus dikejar untuk nantinya mencari pekerjaan.
Maraknya penggunaan kafe sebagai ruang sosial dan fungsional mahasiswa menunjukkan kafe sebagai manifestasi ruang kelas menengah urban Indonesia. Berdasarkan penelitian oleh Khoirul et. al. (2019), salah satu faktor utama pemilihan lokasi kafe adalah kedekatan dengan fasilitas pendidikan [13]. Ini sesuai dengan teori urban land nexus bahwa fungsi yang serupa atau saling mendukung akan muncul berdekatan untuk meningkatkan efisiensi dan aglomerasi. Seperti sudah dijabarkan, mahasiswa termasuk dalam cultural middle class, kategori kelas menengah yang memiliki afinitas terhadap nilai-nilai kebudayaan. Mereka cenderung urban dalam gaya hidupnya agar dekat dengan amenitas kebudayaan [14] Dengan menyempitnya ruang bagi kelompok ini akibat gagalnya kampus dalam memberikan fasilitas ruang diskusi, kafe menjadi ruang untuk mempraktikkan dan mengembangkan kapital sosial serta kebudayaan mereka.
Kapital sosial dan kebudayaan merupakan sebagian komponen dari kelas sosial. Bourdieu (1987) mengemukakan bahwa kelas sosial adalah posisi yang dapat diisi oleh “pelaku” berdasarkan kapital yang ia miliki. Kapital secara umum dapat dibagi menjadi tiga, yaitu kapital ekonomi, sosial, dan kebudayaan [15]. Secara sederhana, kapital ekonomi merupakan kekayaan dan pendapatan. Kapital sosial adalah hubungan dan kontak sosial yang dapat dimanfaatkan seseorang, misalnya berbentuk kepercayaan dan dukungan sosial. Terakhir, kapital kebudayaan adalah kemampuan untuk mengakses dan melibatkan diri dengan produk kebudayaan serta institusi pendidikan, contohnya adalah kepemilikan gelar [16]. Kelas menengah ke atas beraktivitas di kafe, memperluas dan memanfaatkan kapital sosialnya dengan membangun jejaring dan merawat hubungan dengan sesama. Mereka melakukan itu sembari mengakses atau mengusahakan kapital kebudayaannya, yaitu mengerjakan tugas sekaligus belajar untuk mendapat gelar dengan akses yang didapat dari kapital ekonominya.
Kafe dalam Imajinasi Sastra
Kafe dan posisinya sebagai ruang bagi kelas menengah tidak hanya muncul dari amatan kondisi material sekarang. Karya sastra juga mencatat penggunaan ruang ini. Thomas Huxley, seorang antropolog dan ahli anatomi Inggris, menyatakan tentang ini dengan cermat, “Literature is the expression of the thoughts of society. Books are specimens of the conversations of an age, persevered in the spirit of taste and of genius.” Karya sastra yang dihasilkan pada periode waktu tertentu dapat mencerminkan gagasan, kepercayaan, dan perilaku dominan suatu era. Ia berperan sebagai sebuah cermin kebudayaan yang menampilkan zeitgeist atau semangat masa tertentu.
Seperti yang dilakukan penerbit POST pada 2024. Mereka meluncurkan buku Museum Teman Baik, sebuah antologi cerita pendek dari sepuluh penulis tentang sekelumit hubungan pertemanan kontemporer. Uniknya, enam dari sepuluh cerita pada buku ini memiliki bagian dengan latar kafe. Dua diantaranya menceritakan hampir seluruh latar kejadian di dalam kafe. “Soak 33” karya Sri Izzati menceritakan empat orang teman kuliah yang bertemu lagi setelah bekerja. Dalam sebuah kafe, Sonya reuni dengan tiga temannya, yaitu Kemala, Anita, dan Olga. Sonya, yang sudah menempuh pendidikan magister di luar negeri dan melanjutkan kerja di sana, sedang menyambangi Jakarta. Anita, seorang pekerja kantoran yang dulunya bersaing untuk posisi kerja dengan Kemala, baru saja di-PHK. Namun, ia masih berusaha menjaga statusnya–terlihat dari anekdot botol Stanley tiruan milik Anita, yang Sonya langsung sadari keabsahannya. Status ekonomi dan sosial Anita juga dibuktikan oleh anekdot lain yang menceritakan Anita serta koleksi lengkap pulpennya saat masa kuliah. Sementara itu, Kemala dikisahkan sudah menikah dengan seorang yang bekerja di luar negeri [17].
Cerita pendek lain yang keseluruhannya mengambil tempat di kafe adalah “Makan Malam Perpisahan” karya Awi Chin. Sepasang teman, lagi-lagi dari masa kuliah, bertemu setelah hubungannya memburuk karena tumbuhnya asmara di antara mereka. Kisah yang diceritakan dari sudut pandang pertama tanpa menyebutkan nama tokoh ini lahir dari premis kepergian teman sang narator ke luar negeri. Teman narator, yang dikisahkan cukup sukses sebagai penulis hingga sering diundang ke luar negeri untuk menjadi pembicara, mendapatkan pekerjaan tetap di luar negeri. Narator menyatakan rasa irinya terhadap sang teman yang sukses dalam berkarir dan bisa melanjutkannya ke luar negeri. Sang teman, sebaliknya, merasa iri karena narator memiliki kehidupan domestik yang apik, sesuatu yang tidak bisa ia dapatkan di Indonesia sebagai seorang individu kwir. Usaha keras yang ia lakukan selama ini tak lain dilakukannya untuk mendapatkan hak dasar yang tak didapatkan di Indonesia; ia ingin kabur [18].
Dari kisah-kisah dalam antologi cerita pendek Museum Teman Baik, nampak jelas latar belakang sosial-ekonomi yang dimiliki tokoh. Latar belakang pendidikan yang baik, bahkan pertemanan yang diceritakan, terbentuk dalam lingkup sosial pendidikan yang tinggi. Hal tersebut dibarengi dengan pekerjaan kerah putih yang tak hanya memberi kesejahteraan bagi tokoh-tokoh itu, tapi juga peluang yang agaknya sulit hadir bagi kelompok sosial-ekonomi lain. Mulai dari kesempatan pendidikan hingga berkarier di luar negeri, atau pekerjaan yang mapan hingga daya beli kebutuhan tersier. Karakter-karakter tersebut dimiliki oleh kelas menengah ke atas.
Para karakter juga diceritakan menggunakan kafe untuk merawat kapital sosialnya. Jejaring sosial yang mereka temukan pada institusi kebudayaan pun dipertahankan sekalipun sudah lama tidak bertemu. Intensitas karakter yang bekerja atau belajar di luar negeri juga sangat identik dengan kelas menengah ke atas. Mobilitas global yang tinggi menunjukkan kapital yang dimiliki orang yang melakukannya. Mobilitas ini juga terlihat sebagai respons yang dimiliki kelas menengah ke atas terhadap iklim politik saat ini. Tagar #KaburAjaDulu belakangan ini ramai menjadi solusi yang mereka miliki untuk menyelamatkan diri sendiri. Kritik dan diskusi muncul terhadap karakter liberal yang mementingkan keamanan diri sendiri serta mengindahkan kelompok masyarakat yang tidak memiliki peluang serupa. Kritik ini menunjukkan keacuhan kelas menengah terhadap isu sosial dan politik. Selain itu, ia juga menunjukkan bagaimana kelas menengah menggunakan kapitalnya untuk kepentingan dan keamanannya sendiri. Dua cerita pendek tadi memang hanyalah contoh, tetapi karakteristik kelas menengah yang dibahas juga ditemui dalam kisah-kisah lainnya yang terdapat cuplikan tentang kafe. Mereka secara nyata menggambarkan kafe sebagai ruang bagi kelas menengah di masa sekarang.
Dalam kisah-kisah antologi ini, kafe disulap menjadi milik pertemanan itu saja. Suasana kafe dan orang-orang lain di dalamnya seketika hilang, menasbihkan ruang itu sebagai panggung hubungan si tokoh. Interaksi yang intim, tetapi tidak domestik. Hal ini sejalan dengan posisi kafe yang unik sebagai bagian dari ruang kota. Kepemilikan kafe yang privat tidak membatasi penggunanya untuk merasakan komunitas di dalamnya. Bedanya, komunitas yang dialami pengguna telah melalui seleksi yang ketat. Keintiman yang kuat menjadikan kafe sebagai ruang interaksi dari kelompok sosial yang terbentuk di luarnya, alih-alih ruang komunitas itu sendiri. Kafe dalam citra inilah yang disebut sebagai ruang publik atau privat. Kafe dimiliki secara privat, tetapi ia menjadi ruang penting bagi beberapa komunitas untuk tetap berlangsung. Akan tetapi, tingkat keterbukaan terhadap publiknya juga dibatasi dengan daya beli calon pengguna dan siapa pun bisa diminta angkat kaki kapan pun. Hal ini meletakkan kafe dalam limbo privat versus publik yang unik.
Kenapa Kafe?
Berdasarkan data Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) tahun 2019, hanya 13 dari 174 kota yang terdaftar dalam Program Kota Hijau yang memiliki ruang terbuka hijau hingga 30% luas kota atau lebih. Hanya 6% yang memiliki ruang terbuka hijau yang memadai [19]. Belum lagi jika berbicara tentang akses terhadap ruang terbuka yang dimaksud. Banyak kota besar yang angka RTH-nya terbantu oleh ruang-ruang terbuka milik institusi atau privat yang tidak aksesibel. Luasan sudah tidak memadai, akses pun sulit digapai. Bukan berlebihan untuk berargumen bahwa kota-kota kita kekurangan ruang publik. Ironisnya, kafe lah yang memenuhi kebutuhan akan ruang publik yang terus tergerus.
Ruang publik kota tidak semata-mata taman, alun-alun, atau lapangan. Sebenarnya, ada ruang publik yang sering luput dari pandangan kita, yaitu jalan. Maklum, kondisi di kota-kota Indonesia sering kali tak menampakkan fungsi jalan sebagai ruang publik. Jalan adalah ruang kota yang multidimensional dan interpretatif. Ia dapat memiliki nilai sosial dan perilaku yang tinggi, sekaligus mendukung beragam aktivitas budaya, ekonomi, dan politik. Akan tetapi, privatisasi ruang kota, terutama jalan, telah banyak mematikan fungsi-fungsi tersebut di Indonesia. Ia juga mengubah makna dan kegunaan dari ruang jalan [20].
Masih ada ruang jalan di kota-kota Indonesia yang mempertahankan fungsi sosial, budaya, dan lainnya. Jalanan kampung kota masih menjadi wadah sosial warganya. Dua teras yang berhadapan seakan membentuk batasnya sendiri menjadi ruang njagong bapak-bapak atau ngerumpi ibu-ibu. Liukan jalannya menjadi trek anak-anak kampung kota untuk bermain. Sudut antara bangunan dan jalan yang sedikit luas bisa menjadi titik kumpul warga. Ruang jalan di kampung kota masih mempertahankan fungsi sosial, budaya hingga ekonominya. Ia menjadi wadah komunitasnya.
Aspek fisik ruang jalan ini yang menjadikan fungsinya sebagai ruang publik hilang di hunian kelas menengah ke atas. Hegemoni Orde Baru, seperti dijabarkan Abidin Kusno dalam Di Balik Pascakolonial, mendorong warga untuk pindah ke perumahan elit yang lebih “modern”, “bersih”, dan “maju” hingga sekarang. Tentu, kelas menengah ke atas tidak mau ketinggalan dengan perkembangan ini. Akibatnya, mereka memiliki kecenderungan orientasi residensial yang beragam dan bercabang [21]. Kapital ekonomi yang sudah mereka kumpulkan memberikan opsi terhadap lebih banyak hunian. Perumahan elit yang tersebar di seluruh periferi kota menjadikan mereka tersebar dari satu sama lain. Semacam hubungan timbal balik terhadap neoliberalisme dan individualisme mereka. Kepemilikan kendaraan yang tinggi menjadikan jalanan perumahan pun steril dan lebar, seolah bagaikan pipa-pipa yang menyalurkan penghuni rumahnya dengan pusat kota, menyempitkan kesempatannya menjadi ruang sosial dan budaya. Maka, diperlukan ruang untuk menggantikannya, terlebih karena komunitas yang dimiliki penghuni perumahan elit pada umumnya bukan terkait tempat tinggalnya. Dalam kekurangan ruang publik, kafe mengisi kebutuhan itu. Sekalipun hanya golongan tertentu yang dapat mencapainya.
Kafe memberikan ruang yang tepat bagi kelas menengah ke atas yang memiliki komunitas yang tersebar secara spasial. Sebagai ruang publik atau privat yang terseleksi penggunanya, kelas menengah ke atas dapat merawat kapital sosialnya dengan saling bertemu di kafe sebagai titik kumpul. Bertemu dengan orang-orang dalam komunitas yang memberi makna keberpihakan baginya. Hal ini sejalan dengan cerita-cerita dalam Museum Teman Baik yang berkumpul dari jauh di kafe, atau mahasiswa-mahasiswa yang mengerjakan tugas kelompok di kafe. Filter pengguna yang ada pada kafe memberikan nilai lebih sehingga ruang publik yang sangat dibutuhkan itu tetap terasa intim atau terkurasi. Filter yang tidak menjadi masalah bagi kelas menengah ke atas karena kapitalnya sudah memberi mereka akses terhadap kebutuhan tersier. Akses terhadap ruang yang dapat merawat kapital mereka, dirogoh dengan satu sajian dekadensi pilihan. Ruang yang terakses pun sesuai dengan kebutuhan hubungan-hubungan yang sudah diamati di atas. Mewadahi relasi interpersonal yang dekat, tetapi tidak domestik sehingga tidak memiliki ruang yang jelas dalam kota yang semakin privat.
Namun, hal tersebut justru menunjukkan mengapa kafe bukanlah ruang yang bisa menjawab kekurangan ruang publik kota kita. Secara umum saja, ruang yang diandalkan dalam kemiskinan ruang publik ini membatasi siapa yang dapat menggunakannya. Inklusivitas dalam ruang yang dibutuhkan seluruh warga kota bagai jauh dalam angan. Segmentasi ruang publik ini mungkin akan sah-sah saja jika data tidak membuktikan kota-kota Indonesia kekurangan ruang publik, terlebih aksesnya. Fungsi ruang publik sebagai perawat demokrasi masyarakat melalui pluralisme pun tidak terpenuhi. Aspek pluralisme dari ruang publik tidak akan ditemukan dalam ruang yang mengharuskan penggunanya memiliki pendapatan sisa untuk membeli sesuatu yang sebenarnya tidak dibutuhkan. Aspek pluralisme tidak akan ditemukan pula pada ruang yang memiliki filter akan penggunanya. Kemajemukan latar belakang pengguna, sebagai keping-keping yang membentuk mosaik khalayak umum, menguap dari ruang itu. Orang dengan latar belakang yang berbeda tidak memiliki kesempatan berinteraksi dan saling memahami. Tidak ada kepemilikan bersama untuk digunakan oleh, atau berinteraksi dengan orang yang benar-benar “asing”. Padahal ruang publik seharusnya menyediakan itu [22].
Rasa memiliki bersama dengan orang yang asing tidak ada, toh dalam alam bawah sadar, penggunanya tahu betul orang lain dalam ruang yang mereka tempati–kecuali mungkin para pekerjanya, berada dalam kelas sosial-ekonomi yang sama dengan mereka. Begitu juga dengan orang yang de jure memiliki ruang tersebut. Rasa memiliki bersama itu menjadi tidak utuh, tidak semua orang yang benar-benar asing memilikinya. Akibatnya, rasa tanggung jawab terhadap kepemilikan itu juga tak lagi utuh. Pengguna ruang kafe fokus pada komunitasnya yang ia kumpulkan pada ruang yang tak lebih jadi struktur sementara; tidak ada makna lebih dan bisa digantikan kafe lainnya. Cukup fokus pada pengguna yang bersama mereka, mengembangkan kapital sosial dan kebudayaan masing-masing kelompok saja. Merawat hegemoni yang dinobatkan pada mereka dalam tatanan sebelumnya. Agar tetap dapat bersaing dalam perlombaan tikus yang melahirkan kelas sosial ini.
Ruang Alternatif
Tapi ini bukanlah hal yang mutlak. Jika imajinasi adalah alat untuk membentuk masa depan, maka mari bayangkan alternatif lainnya. Ruang-ruang yang lebih inklusif, yang dapat digunakan siapapun. Ruang yang digunakan oleh kelas menengah ini tidaklah perlu terpisah dari sekitarnya. Secara arsitektural, tentunya bisa dirumuskan ruang yang mengundang dan ramah digunakan siapapun. Permeabilitas agar ruang bisa diakses banyak orang, visibilitas agar orang tidak sungkan menjamah ruang, atau fleksibilitas agar ruang yang sama bisa dimanfaatkan dengan ragam cara.
Keberpihakan yang dimiliki penggubah ruang dapat mengarahkan oleh siapa dan seperti apa ruang digunakan. Misalnya, untuk rancangan Warung Pelan Pelan, keputusan mempertahankan limasan kotangan oleh Studio Tanah merawat permanensi yang dimiliki masyarakat sekitar. Warga masih dapat mengingat apa yang pernah mereka lakukan di sana sebelum limasan menjadi kafe. Mereka tak merasa sungkan untuk ikut berkegiatan di sana. Toh, limasan itu memang bagian dari ruang hidup mereka sedari dulu. Alih-alih menjadikan muka lahan area parkir, Studio Tanah menengok ke ruang-ruang di sekitarnya. Tak ada lahan parkir di depan rumah-rumah lain. Sehingga area ini dijadikan taman dan kolam, yang tak hanya menyejukkan tetapi juga menjadi ruang yang fleksibel dan permeabel.
Jelas, tidak ada artinya semua hal yang disebutkan tanpa perubahan yang lebih besar. Apalah artinya keberadaan wujud-wujud fisik tadi jika sulit direplikasi akibat sistem? Atau jika akses ruang masih dipatok setidaknya harga produk termurah? Sekalipun angan-angan ini terasa sangat jauh, kita bisa menemukannya jika menilik ke belakang. Bahkan, ruang yang penulis maksud ini terjadi di dalam lingkup kampus itu sendiri. Prof. Dr. H. Koesnadi Hardjasoemantri, S.H., M.L., merupakan rektor UGM periode 1986-1990 yang mencerminkan harapan ini. Terkenal mencetuskan embrio program KKN, keberpihakan beliau juga mewujud pada ruang kampus. Prof. Koesnadi menerima para pedagang kaki lima (PKL) ke dalam lingkungan kampus. Beliau memberi PKL kapling-kapling, bahkan didampingi dengan SK Rektor [23]. Sebagai mahasiswa, pernah terdengar sayup-sayup urban legend tentang bagaimana Prof. Koesnadi melarang kampus UGM untuk berpagar; memalingkan wajah dari warga. Ternyata ruang kampus tak hanya bisa melainkan pernah menerima mahasiswa-mahasiswanya dan khalayak umum lainnya. Sekalipun kampus yang menurut teori sebelumnya memang berperan dalam sistem reproduksi kelas sosial, ruangnya tak semata-mata harus mencerminkan itu. Ada kemungkinan nyata bahwa kelas menengah tak harus menggunakan ruang yang eksklusif, dan mengubah ruang yang secara fungsional sangat erat dengan sistem yang malah menjadi inklusif. Justru, ruang dapat menjadi alat kita meredupkan batas-batas yang terpatri dalam sistem yang ada.
[1] Perdana, R. K. (2024). Data Persentase Penduduk Kelas Menengah di Indonesia Berdasarkan Jenjang Pendidikan pada 2024. Data Indonesia. https://dataindonesia.id/pendidikan/detail/data-persentase-penduduk-kelas-menengah-di-indonesia-berdasarkan-jenjang-pendidikan-pada-2024
[2] Fadeli, T. R. (2024). Kelas Menengah Indonesia: Terkikis, Terabaikan, dan Terlupakan. IndoProgress. https://indoprogress.com/2024/10/kelas-menengah-indonesia-terkikis-terabaikan-dan-terlupakan/
[3] Kusno, A. (2000). Di Balik Pascakolonial: Arsitektur, Ruang Kota dan Budaya Politik di Indonesia. Universitas Airlangga Press
[4] Boterman, Willem, & Musterd, Sako. (2017). Differentiated residential orientations of class fractions. In John Hannigan & Greg Richards (Eds.), The SAGE Handbook of New Urban Studies (pp. 388–407). Sage.
[5] “Theories of Education”. www.cliffsnotes.com. Diakses 2025-05-11.
[6] Walker, Elaine M.. (2003). Race, Class, and Cultural Reproduction: Critical Theories in Urban Education. Revista electrónica de investigación educativa, 5(2), 1-28. http://www.scielo.org.mx/scielo.php?script=sci_arttext&pid=S1607-40412003000200001. Diakses 2025-05-11
[7] Muhlisah (2021). Fungsi Kafe “Omnivora” Sebagai Ruang Sosial Bagi Mahasiswa Di Banjarmasin. JTAMPS : Jurnal Tugas Akhir Mahasiswa Pendidikan Sosiologi, 1(1), 6-13.
[8] Purnamasari, R. D. (2018). Analisis Pengaruh Gaya Hidup Pengunjung Kafe Terhadap Keputusan Pembelian dalam Perspektif Ekonomi Islam (Studi pada Kafe Sama-Sama, Bandar Jaya, Lampung Tengah) (Doctoral dissertation, UIN Raden Intan Lampung).
[9] Chandrayani, A. V. N., Koestiono, I. D., & Pariasa, I. I. (2021). Hubungan Dimensi Budaya Dengan Cara Penyampaian Keluhan Dan Kepuasan Pengunjung Kafe ‘Spj’Kabupaten Malang (Doctoral dissertation, Universitas Brawijaya).
[10] Suryatama, D. (2024). Pengaruh Experiental Marketing Dan Social Media Marketing Terhadap Customer Loyalty Melalui Customer Satisfaction Pada Pengunjung Kafe Uncle Kota Tarakan. Doctoral dissertation: Universitas Islam Sultan Agung Semarang.
[11] Gerald, A. (24 Agustus 2023). Neoliberalisme Bukan Sekadar Uang Kuliah Mahal dan Pelitnya Negara Memberi Subsidi. IndoProgress. https://indoprogress.com/2023/08/neoliberalisme-bukan-sekadar-uang-kuliah-mahal/
[12] Saputra, K. (2023). Dampak kebijakan perguruan tinggi negeri badan hukum (PTN BH) yang mengakibatkan munculnya komersialisasi pendidikan. Journal on Education, 5(4), 11943-11950.
[13] Khoirul, M., Yudana, G., & Rahayu, P. (2019). Faktor utama pemilihan lokasi kafe di kota surakarta. Desa-Kota: Jurnal Perencanaan Wilayah, Kota, dan Permukiman, 1(2), 108-120.
[14] Boterman, Willem R, Manting, Dorien, & Musterd, Sako. (2018). Understanding the social geographies of urban regions through the socio-economic and cultural dimension of class. Population, Space and Place, 24(5), e2130. https://doi.org/10.1002/psp.2130
[15] Bourdieu, Pierre. (1987). What makes a social class? On the theoretical and practical existence of groups. Berkeley Journal of Sociology, 32, 1–17. https://www.jstor.org/stable/41035356
[16] Custers, G. dan Engbersen, G. (2022). The urban class structure: class change and spatial divisions from a multidimensional class perspective. Urban Geography, 43(6), 913-943
[17] Izzati, S. (2024). Soak 33. Kusuma, T. W. dan Ang, M. Museum Teman Baik. Penerbit POST
[18] Chin, A. (2024). Makan Malam Perpisahan. Kusuma, T. W. dan Ang, M. Museum Teman Baik. Penerbit POST
[19] Dania, A. H. (2023) ‘Pengelolaan Ruang Terbuka Hijau sebagai Strategi Kota Sehat pada Kawasan Perkotaan di Indonesia’, Rustic Jurnal Arsitektur, 3(1), pp. 28–45. http://ojs.itb-ad.ac.id/index.php/RUSTIC.
[20] Taylor, Ken. (2014). The Street: A Quintessential Social Public Space. Landscape Research. 39. 10.1080/01426397.2014.953838.
[21] Bacqué, Marie-Hélène, Bridge, Gary, Benson, Michaela, Butler, Tim, Charmes, Eric, Fijalkow,Yankel, & Vermeersch, Stéphanie. (2015). The middle classes and the city. Palgrave Macmillan.
[22] Kusumawijaya, M. (2006). Kota Rumah Kita. Borneo.
[23] Nugroho, T. (2010). Mubyarto dan Ilmu Ekonomi yang Membumi. Prof. Dr. Endriatmo Soetarto, Pemikiran Agraria Bulaksumur. Sajogyo Institute