Sudut Pandang AI sebagai Rekan Manusia: Kemampuan ChatGPT dalam Desain Arsitektur
- Editor: Khusnul Hanifati
Setiap keputusan desain rumah lahir dari interaksi dan kompromi antar batas-batas: batas jumlah informasi yang seseorang mampu ingat, batas waktu yang tersedia untuk merancang, dan batas pengetahuan tentang bagaimana bangunan dibangun, berubah dan bertahan. Batas dalam hal ini dapat diibaratkan sebagai tepian dari potongan puzzle, yang bentuk tepiannya dan posisinya ditentukan secara bebas oleh penghuni atau perancang tergantung gambaran utuh yang ingin dicapai. Dalam konteks desain, potongan-potongan ini adalah informasi personal ataupun teknis yang dianggap penting dalam keputusan desain, rangkaian potongan-potongan ini menciptakan gambaran awal tentang rumah (desain). Layaknya saat merangkai puzzle, proses mendesain pun kerap melalui proses eksploratif dan spekulatif, terutama ketika gambaran utuh belum sepenuhnya jelas di awal. Namun berbeda dengan puzzle biasa yang sudah memiliki bentuk akhir, perancangan rumah seringkali dimulai dari ketidakpastian. Manusia menetapkan bentuk satu potongan tanpa benar-benar memahami bentuk keseluruhan, karena hidup yang terus berubah dan setiap orang memiliki siklus unik dalam kehidupannya. Disinilah arsitektur menjadi medan pertemuan antara manusia, waktu, dan bangunan. Ketiganya saling memengaruhi dalam satu sistem yang kompleks, karena masing-masing memiliki siklus yang unik. Kecerdasan buatan (AI) seperti ChatGPT hadir sebagai mitra yang mampu menyimpan, mengaitkan, dan mengenali pola kehidupan manusia. Dengan informasi tersebut, AI dapat membantu manusia membentuk gambaran desain secara lebih utuh, menuntun manusia menetapkan batas-batas dengan lebih sadar dan terarah. Pada akhirnya, AI memungkinkan arsitektur bertransformasi menjadi sistem yang adaptif terhadap waktu, perubahan, dan dinamika kehidupan.
Perkenalan Batas Manusia dan AI
Kapasitas manusia dalam merangkai informasi dari pengalaman masa lalu terbatas karena otak tidak menyimpan seluruh informasi secara sadar [1]. Hal ini memengaruhi bagaimana seseorang menilai masa kini dan membayangkan masa depan, khususnya dalam mendesain ruang tempat tinggal. Di sebuah desa urban di pinggiran Jakarta, seorang ibu menceritakan bahwa rumah kecil mereka awalnya cukup untuk dirinya dan suami, kemudian mereka menambah satu kamar saat anak pertama lahir, dan memperluas rumah untuk dapur ketika anak kedua lahir. Ruang demi ruang dibangun menyesuaikan perubahan yang mereka hadapi, tetapi di sisi lain muncul persoalan lain yang luput diperhitungkan, yaitu siklus hidup anak-anak. Bagaimana rumah itu akan terasa sempit bagi anak-anak saat remaja, pun ketika anak pertama mulai memiliki kebutuhan personal seiring, atau ketika, mereka telah dewasa untuk meninggalkan rumah dan orangtua mereka telah terbatas fisiknya untuk membersihkan dan merawat rumah [2]. Dalam Freedom to Build, Turner dan Fichter (1972) mencatat bahwa banyak keluarga di Amerika Latin yang membangun rumah swadaya secara bertahap, mereka memikirkan kebutuhan saat itu namun tanpa kelengkapan gambaran jangka panjang kehidupan anggota keluarga lainnya [3]. Studi di India oleh Swati dan Singh juga mencatat keluarga-keluarga yang akhirnya terjebak dalam ruang yang tidak lagi sesuai kebutuhan mereka, karena perancangan awal hanya didasarkan pada ingatan dan asumsi tren saat itu [4].
Dalam perancangan arsitektur, dialog adalah mekanisme penting untuk merangkai berbagai informasi menjadi sebuah desain. Dialog memungkinkan perancang menukar ide secara berulang dan terstruktur. Studi terkait menempatkan percakapan sebagai penggerak eksplorasi desain [5]. Setiap intervensi dalam dialog memicu tanggapan baru. Tanggapan ini kemudian mengubah arah dan kedalaman keputusan. Proses seperti ini membentuk hubungan timbal balik antara gagasan, konteks, dan perancang. Karena proses desain tumbuh secara iteratif dan adaptif maka keberadaan mitra dialog yang konsisten dan responsif sangat signifikan dampaknya. Mitra ini harus mampu mengingat riwayat percakapan sehingga mampu menjaga kontinuitas gagasan sepanjang proses. Dengan hadirnya teknologi, peran mitra dialog kini dapat diisi oleh sistem kecerdasan buatan yang mampu mempertahankan memori percakapan dan merespons secara kontekstual.
Kemampuan AI untuk mengingat dan mengaitkan informasi bergantung pada interaksi personal [6]. Interaksi yang aktif memperkaya hubungan informasi dalam sistem. Pengguna dapat menyampaikan preferensi, kebiasaan, dan harapan hidup secara rinci. AI menyimpan informasi ini sebagai dasar bernalar. Tulisan ini secara spesifik membahas AI berbasis bahasa, yaitu GPT (Generative Pre-trained Transformer) yang secara spesifik mengambil ChatGPT dari OpenAI sebagai subjek penelitian. GPT menerima input prompt dalam format percakapan. Sistem ini memahami konteks kata demi kata. GPT menghasilkan keluaran berdasarkan pola yang diberikan pengguna. Pola ini seringkali disampaikan pengguna secara eksplisit atau implisit. Dengan demikian, GPT dapat membentuk rekomendasi desain yang kontekstual dan personal (lihat Gambar 1). Fokus pembahasan hanya pada GPT. Hal ini karena GPT menyediakan mekanisme dialog yang dapat membantu percakapan desain. AI jenis lain, seperti AI generatif visual atau sistem kompleks seperti BIM (Building Information Modeling), memiliki fokus yang berbeda. GPT menawarkan kemampuan memelihara narasi, memori, dan proyeksi desain secara berkelanjutan.
Jika kemampuan manusia dalam menyimpan pengalaman dan wawasan masa lalu terbatas, maka solusi desain untuk kondisi masa kini atau depan pun sering kali bergantung pada informasi yang generik atau tidak sepenuhnya akurat. Banyak keputusan desain rumah dibuat tanpa benar-benar memahami bagaimana penghuni berinteraksi sehari-hari dengan ruang mereka. Dalam sebuah wawancara di artikel Living Loving, seorang arsitek menceritakan pengalamannya mendampingi pasangan muda yang awalnya ingin memperbesar ruang tamu, padahal dari pengamatan aktivitas sehari-hari, justru dapur adalah pusat kehidupan rumah tangga mereka. Studi terkait oleh Cantemir dan Kandemir tentang penerapan Artificial Neural Networks (ANN) dalam arsitektur menunjukkan bahwa AI mampu menganalisis pola penggunaan ruang berdasarkan data nyata, seperti seberapa sering penghuni menggunakan area tertentu atau bagaimana pola pergerakan mereka di dalam rumah. Teknologi smart home juga memungkinkan pengumpulan data secara real-time, mulai dari pemakaian cahaya hingga preferensi suhu ruangan penghuni. Dengan demikian, AI berpotensi memahami kondisi masa kini dengan tingkat kedalaman yang jauh melampaui pengamatan manual, memberikan dasar yang lebih kuat untuk merancang solusi ruang yang mencerminkan keseharian penghuni secara akurat.
Kemampuan ChatGPT untuk mungkin dalam mengenali pola kehidupan dan merumuskan kebutuhan ruang berasal dari cara ia dilatih menggunakan model bahasa berbasis sistem neural network. Neural network sendiri adalah sistem komputasi yang meniru cara kerja otak manusia dalam mengenali pola, dengan memprediksi kata atau frasa yang paling mungkin muncul setelah konteks tertentu (lihat Gambar 2). Berdasarkan mekanisme ini, ChatGPT mempelajari hubungan antar kata, konteks, dan makna dari jutaan percakapan dan dokumen di internet [7]. Ketika pengguna menjelaskan kebiasaan, peran dalam keluarga, pekerjaan, atau tujuan hidupnya, ChatGPT tidak hanya mengenali informasi tersebut secara literal, tetapi juga menafsirkan kecenderungan pola kehidupan dan kemungkinan implikasi spasialnya. Pola-pola ini kemudian menjadi dasar bagi sistem untuk membentuk saran yang koheren dan relevan, seolah-olah AI membangun pemahaman tentang siapa pengguna dan bagaimana hidupnya berlangsung dalam ruang [7].
Oleh karena itu, sebagai salah satu AI yang paling banyak digunakan [8], ChatGPT memiliki kemampuan untuk memproyeksikan kebutuhan masa depan dengan menghubungkan pola kehidupan sehari-hari dan elemen arsitektur secara langsung. Proyeksi ini tidak bersifat acak, melainkan didasarkan pada logika percakapan yang mengenali hubungan sebab-akibat dari preferensi pengguna. Sebagai contoh, jika pola hidup seseorang cenderung bekerja dari rumah, maka ChatGPT berpotensi menyarankan kebutuhan ruang kerja yang fleksibel, pencahayaan alami yang optimal, serta sistem ventilasi yang mendukung kenyamanan konsentrasi. Sebaliknya, jika seseorang menyampaikan preferensi terhadap hunian yang bergaya terbuka dan kolektif, maka ChatGPT akan menyarankan konfigurasi ruang yang mendorong aktivitas bersama dan kemudahan mobilitas antar fungsi ruangan. Studi oleh Castro Pena dkk. menunjukkan bahwa AI yang dilatih dengan pola interaksi manusia dapat menggabungkan pengalaman masa lalu, kondisi masa kini, dan ekspektasi masa depan untuk membentuk rekomendasi desain yang relevan [9]. Dengan kemampuan ini, ChatGPT tidak hanya memberikan saran desain yang responsif terhadap situasi saat ini, tetapi juga menciptakan arah desain yang selaras dengan karakter dan dinamika kehidupan pengguna di masa mendatang.
Sinkronisasi Siklus Manusia dan Bangunan
Kemampuan ChatGPT untuk menyarankan ruang yang selaras dengan karakter penghuninya menandai pergeseran paradigma dalam memahami arsitektur. Ia tidak lagi dilihat sebagai produk akhir, melainkan sebagai proses dinamis yang bergerak mengikuti manusia seiring waktu, peran, usia, dan relasi dalam keluarga. Ruang adaptif yang dikoneksikan dengan AI memungkinkan arsitektur tidak hanya mengikuti kehidupan, tapi juga membangun “ingatan digital” yang dapat diwariskan antar generasi.
Bagi banyak penghuni, rumah hanya dipahami sebagai ruang sehari-hari yang stabil, jarang disadari bahwa bangunan memiliki siklus yaitu dirancang, dibangun, digunakan, diperbaiki, atau direnovasi [3]. Kasus rumah yang mengalami kondisi rusak setelah dihuni merupakan contoh yang sangat baik dalam menjelaskan pentingnya pemahaman mengenai siklus hidup bangunan dalam perancangan arsitektur berbantuan AI. Sebagai contoh, perawatan bangunan umumnya baru dilakukan oleh penghuni ketika gejala muncul. Misalnya, saat atap mulai bocor, dinding mengelupas, atau udara terasa pengap. Tindakan seperti ini bukanlah kesalahan, melainkan representasi dari keterbatasan akses mengenai informasi teknis umur bangunan yang seringkali tidak dapat terindra langsung oleh mata. Akibatnya, perhatian terhadap arsitektur cenderung berhenti pada elemen visual dan estetis, tanpa menyentuh performa struktural dan operasional yang turut menentukan performa rumah dalam memberikan kenyamanan tinggal.
Kurangnya pengetahuan tentang kondisi siklus bangunan tidak hanya berdampak fisik, tetapi juga efisiensi biaya dan kenyamanan jangka panjang [10]. Seringkali keputusan renovasi dilakukan secara parsial dan tidak strategis, seperti mengecat ulang tanpa memperbaiki sirkulasi udara atau menambah ruang tanpa mempertimbangkan ventilasi dan pencahayaan, menciptakan ruang yang tampak baru secara visual namun tetap bermasalah pada performa. Hal ini menunjukkan adanya batas dalam hubungan antara penghuni dan bangunan, di saat kebutuhan hidup manusia terus berubah, ruang sering kali tidak mampu ‘berbicara’ atau menyampaikan kondisinya secara langsung.
Di sini, AI memiliki potensi untuk menjembatani batas tersebut. Dengan data penggunaan harian, riwayat intervensi, dan preferensi penghuni dalam percakapan [11], ChatGPT bisa mengenali keluhan sederhana seperti “ruang terasa sumpek” atau “anak sulit tidur” sebagai sinyal untuk meninjau sirkulasi udara, pencahayaan alami, atau konfigurasi ruang. AI bahkan bisa menyusun rekomendasi desain jangka panjang, menjadikannya mitra aktif dalam menghubungkan kehidupan manusia dan sistem kerja bangunan (lihat Gambar 3).
Dari sini, ChatGPT memungkinkan penghuni berdialog dengan rumahnya hampir seperti pasien berbicara kepada dokter, bukan sekadar memperbaiki saat rusak, tetapi memahami “kondisi” bangunan secara menyeluruh. Dialog semacam ini mengubah interaksi dari satu arah menjadi hubungan timbal balik yang berkelanjutan (lihat Gambar 3). Dengan demikian ChatGPT, yang memahami bahasa dan konteks kehidupan pengguna, mengubah arsitektur dari latar diam menjadi partner dinamis yang menyesuaikan diri terhadap perubahan kehidupan.
Namun, dalam tulisan ini, penulis membatasi interaksi AI hanya pada input berupa prompt yang berupa teks dan visual dari pengguna, tanpa dukungan sensor fisik atau sistem IoT (Internet of Things). Pendekatan seperti ini dibahas karena lebih inklusif dan praktis bagi khalayak umum, tanpa memerlukan perangkat tambahan. Misalnya, keluhan tentang atap bocor dapat disampaikan melalui foto dan deskripsi singkat.
Sebagai penjelasan, cara kerjanya mirip seperti ketika seorang arsitek menerima foto rumah dari klien, lalu mendengar penjelasannya. GPT “melihat” gambar tersebut dengan memecahnya menjadi potongan-potongan detail, seperti bentuk, warna, atau tekstur lalu mengubahnya menjadi informasi teks yang ia pahami lewat database pelatihannya. Setelah itu, AI menggabungkan hasil pengamatan ini dengan konten teks yang diinput pengguna untuk menyimpulkan kondisi dan memberikan saran.
Dengan cara ini, AI dapat menafsirkan situasi fisik walaupun tidak berada di lokasi dan tidak memiliki sensor untuk mengukur langsung. Kemampuan ini didukung oleh perkembangan terbaru pada model multimodal yang menggabungkan pengenalan visual dan bahasa, sehingga percakapan desain antara manusia dan AI dapat berjalan lebih komprehensif (lihat Gambar 3).
AI sebagai Penghubung Dialog Manusia dan Bangunan
Siklus hidup manusia dan bangunan berjalan dalam tempo yang berbeda. Kehidupan manusia berubah dengan cepat, dari lajang menjadi pasangan, dari keluarga muda menjadi orang tua, dari pekerja aktif menjadi pensiunan, dan setiap fase membawa kebutuhan terhadap ruang yang berbeda pula. Sementara itu, bangunan mengalami perubahan yang jauh lebih lambat dan berkala, mulai dari proses pembangunan, penggunaan, perawatan, hingga renovasi atau pembongkaran. Perbedaan ritme ini membuat banyak keputusan desain, penggunaan, atau renovasi ruang tidak selalu berada dalam sinkronisasi yang tepat. Bangunan mungkin sudah memasuki usia dua dekade dan membutuhkan pembaruan sistem, sementara penghuninya baru saja memiliki anak pertama. Sebaliknya, penghuni yang memasuki usia lanjut mungkin tinggal di rumah yang belum pernah diperbarui sejak dibangun. Ketidaksinkronan ini bukan hanya persoalan teknis, tetapi juga menyangkut kenyamanan, keamanan, dan keberlanjutan penggunaan ruang. Maka diperlukan suatu sistem yang mampu membaca kedua siklus ini sekaligus, yaitu memahami kebutuhan hidup yang dinamis sekaligus mengenali kondisi dan fase bangunan yang lebih lambat berubah.
Kecerdasan buatan seperti ChatGPT memungkinkan terbentuknya koneksi antara dua garis waktu yang sebelumnya berjalan terpisah yaitu perubahan hidup manusia dan perubahan kondisi bangunan. Melalui percakapan, ChatGPT dapat mengumpulkan informasi tentang kebiasaan, kebutuhan, dan target hidup penggunanya, lalu menyandingkannya dengan data teknis bangunan seperti usia, riwayat penggunaan, atau hasil inspeksi berkala. Dalam situasi tertentu, sistem ini mampu mengidentifikasi bahwa rumah yang ditempati berada dalam fase teknis yang menurun, misalnya pencahayaan alami yang mulai tidak efektif atau kelembaban yang meningkat, sementara pengguna sedang menghadapi fase hidup yang membutuhkan kualitas ruang lebih tinggi, seperti bekerja dari rumah atau merawat bayi. Dari sana, AI dapat menyarankan langkah konkret seperti penggantian material, reorganisasi bukaan, atau peningkatan kualitas udara. Di sisi lain, ketika sistem mengenali bahwa ketidaksesuaian tidak dapat ditangani dengan adaptasi lokal, AI juga dapat memberikan rekomendasi strategis, seperti kapan waktu terbaik untuk mulai mempertimbangkan pindah rumah, lokasi alternatif yang lebih sesuai, serta elemen desain yang sebaiknya diperhatikan berdasarkan preferensi dan fase hidup pengguna. Dengan begitu, AI tidak hanya menjadi alat bantu teknis, tetapi juga partner strategis yang menyelaraskan kebutuhan hidup dan kapasitas ruang secara kontekstual.
Kemampuan AI untuk menghubungkan manusia dan bangunan menjadi lebih kuat ketika ia tidak hanya merespons preferensi pengguna, tetapi juga memahami prinsip-prinsip keandalan bangunan. Di Indonesia, Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 2021 adalah regulasi yang mengikat perizinan dan kelayakan fungsi setiap jenis bangunan (rumah hingga bangunan tinggi). Sehingga, desain harus dapat mengimbangi antara konteks personal pengguna AI mengenai rumah dengan regulasi yang berlaku, tidak terpenuhinya regulasi pada satu desain beresiko kegagalan bangunan atau bangunan yang tidak legal untuk difungsikan. Regulasi menekankan empat aspek utama keandalan bangunan, yaitu kenyamanan, kesehatan, keselamatan, dan kemudahan. ChatGPT, yang berbasis pemrosesan bahasa alami dan reasoning kontekstual, dapat digunakan untuk mengevaluasi kondisi hunian berdasarkan prinsip-prinsip dalam regulasi tersebut. Misalnya, ketika pengguna menyampaikan bahwa rumahnya sering terasa pengap dan anaknya mengalami gangguan tidur, AI dapat menafsirkan itu sebagai masalah sirkulasi udara (kesehatan) dan pencahayaan alami (kenyamanan), lalu merekomendasikan solusi yang sesuai dengan regulasi teknis bangunan (lihat gambar 3). Lebih jauh, AI dapat mengarahkan pengguna untuk mempertimbangkan risiko keselamatan seperti material lantai licin bagi lansia, atau hambatan akses bagi anggota keluarga dengan kebutuhan khusus. Dengan kemampuan ini, AI bukan hanya berperan sebagai fasilitator desain berbasis selera, melainkan sebagai sistem evaluatif yang mempertimbangkan keandalan bangunan secara holistik dan berbasis aturan imperatif.
Ketika AI mampu menyatukan dua siklus yang berjalan dalam irama berbeda yaitu dinamika kehidupan manusia dan ritme teknis bangunan, hubungan antara penghuni dan ruang pun mengalami perubahan mendasar. Rumah tidak lagi sekadar latar pasif dari kehidupan, melainkan menjadi sistem yang hidup bersama penghuninya. Melalui AI, ruang dapat membaca perubahan, menyesuaikan, dan bahkan menyarankan adaptasi sebelum kebutuhan itu disadari secara sadar oleh penggunanya. Dalam jangka panjang, ini membuka kemungkinan baru bagi desain untuk tidak berhenti pada titik perencanaan awal, melainkan terus berkembang seiring waktu dan konteks. ChatGPT dan sistem sejenis berperan sebagai mediator yang menjaga kesinambungan hubungan itu: memahami sejarah penggunaan ruang, mengenali kondisi bangunan, dan mengingat target hidup pengguna secara simultan. Dengan kemampuan tersebut, AI bukan hanya mendampingi proses desain, tetapi menghidupkan arsitektur sebagai entitas yang benar-benar selaras dengan kehidupan manusia, dari waktu ke waktu.
Epilog: Arsitektur yang Terus Bertumbuh Bersama Waktu
Meskipun menawarkan peluang besar, sistem seperti ChatGPT masih dibatasi oleh cara kita berinteraksi dengannya. Dalam penelitian ini, masukan pengguna terbatas pada teks dan gambar. Padahal, banyak aspek kehidupan ruang yang sulit terekam hanya melalui dua bentuk input ini. Misalnya kelembaban udara, kebisingan lingkungan, atau perubahan suhu yang memerlukan data sensor fisik untuk dianalisis secara akurat. Selain itu, kemampuan generatif AI saat ini juga belum sepenuhnya matang. Model multimodal dapat memahami dan menghubungkan informasi lintas media, tetapi seringkali kurang presisi dalam menghasilkan rekomendasi yang benar-benar kontekstual jika data masukan tidak lengkap atau kurang jelas [12]. Tulisan ini menempatkan batas sebagai kesempatan dialog, di mana manusia dan mesin saling berjumpa namun tidak sepenuhnya melebur, di mana waktu manusia yang subjektif bertemu dengan waktu bangunan yang objektif; di mana memori serta pengalaman manusia menjadi pijakan bagi desain yang longlasting.
Keterbatasan ini bukan sekadar hambatan, melainkan titik orientasi yang membuat proses tumbuh bersama menjadi mungkin. Saat ini AI belum mampu “merasakan” sepenuhnya kondisi bangunan, ia menuntut manusia untuk tetap hadir sebagai pengambil keputusan akhir, menjaga keberpihakan, inklusivitas, dan tanggung jawab sosial. Namun, AI membawa kemampuan merekam, mengolah, dan memproyeksikan informasi lintas waktu yang tak mungkin dicapai manusia sendirian. Integrasi dengan data sensor real-time, basis pengetahuan lokal, atau sistem simulasi arsitektur dapat memperkaya percakapan dan membuat AI mampu merespons secara lebih akurat terhadap dinamika ruang. Dengan perangkat tambahan tersebut, AI dapat semakin menjadi sosok mitra yang ideal dalam mendampingi kehidupan manusia dalam ruang. Dengan semangat inovasi yang lebih luas, tantangan ini mengingatkan bahwa AI bukanlah entitas sempurna, melainkan mitra yang terus berevolusi bersama manusia dan teknologi pendukungnya.
Dengan demikian, kesimpulan tulisan ini tidak berhenti pada optimisme teknologi, tetapi pada pemahaman bahwa masa depan arsitektur berada di persilangan batas-batas ini. Justru di sanalah potensi terbesar manusia terletak, di wilayah pertemuan antara manusia dan mesin, antara waktu dan bangunan, antara memori dan prediksi. Temuan adanya interaksi antar batas-batas tersebut yang membentuk arsitektur bukan hanya sebagai produk final, melainkan sebagai mitra yang terus berkembang mendampingi manusia seiring waktu.
[1] L. R. Squire and A. J. O. Dede, “Conscious and Unconscious Memory Systems,” Cold Spring Harb Perspect Biol, vol. 7, no. 3, p. a021667, 2015, doi: 10.1101/CSHPERSPECT.A021667.
[2] “Cerita-Cerita Membangun Rumah Bersama Arsitek – LIVING LOVING.” Accessed: May 11, 2025. [Online]. Available: https://www.livingloving.net/2023/events-community/cerita-cerita-membangun-rumah-bersama-arsitek/
[3] J. F. C. Turner and R. Fichter, Freedom to Build: Dweller Control of the Housing Process. 1972.
[4] Swati and K. Singh, “Challenges Faced by Homeowners in House Design Planning,” Current Journal of Applied Science and Technology, vol. 42, no. 30, pp. 1–8, Sep. 2023, doi: 10.9734/cjast/2023/v42i304206.
[5] I. Gessinger, K. Seaborn, M. Steeds, and B. R. Cowan, “ChatGPT and me: First-time and experienced users’ perceptions of ChatGPT’s communicative ability as a dialogue partner,” Int J Hum Comput Stud, vol. 194, p. 103400, Feb. 2025, doi: 10.1016/J.IJHCS.2024.103400.
[6] A. Choudhury and H. Shamszare, “Investigating the Impact of User Trust on the Adoption and Use of ChatGPT: Survey Analysis,” J Med Internet Res, vol. 25, 2023, doi: 10.2196/47184.
[7] “(170) What is generative AI and how does it work? – The Turing Lectures with Mirella Lapata – YouTube.” Accessed: May 11, 2025. [Online]. Available: https://www.youtube.com/watch?v=_6R7Ym6Vy_I&list=LL&index=78&t=1796s
[8] databoks.katadata.co.id, “Survei: ChatGPT Jadi Aplikasi AI Paling Banyak Digunakan di Indonesia | Databoks,” https://databoks.katadata.co.id/infografik/2023/06/26/survei-chatgpt-jadi-aplikasi-ai-paling-banyak-digunakan-di-indonesia.
[9] M. L. Castro Pena, A. Carballal, N. Rodríguez-Fernández, I. Santos, and J. Romero, “Artificial intelligence applied to conceptual design. A review of its use in architecture,” Autom Constr, vol. Vol. 124, pp. 2–27, Apr. 2021, doi: 10.1016/j.autcon.2021.103550.
[10] P. M. Ward, Self-Help Housing: A Critique. 1982.
[11] S. Chaillou, “ArchiGAN: Artificial Intelligence x Architecture,” in Architectural Intelligence, Singapore: Springer Nature Singapore, 2020, pp. 117–127. doi: 10.1007/978-981-15-6568-7_8.
[12] N. L. Rane, S. P. Choudhary, and J. Rane, “Integrating ChatGPT, Bard, and Leading-Edge Generative Artificial Intelligence in Architectural Design and Engineering: Applications, Framework, and Challenges,” International Journal of Architecture and Planning, vol. 3, no. 2, pp. 92–124, Sep. 2023, doi: 10.51483/IJARP.3.2.2023.92-124.



